DI KOTA X, ada seorang pejabat yang sangat royal kepada wartawan. Tiap kali bertemu dengannya, sudah bisa dipastikan, pulangnya akan diberi bekal amplop berisi uang.
Oleh karena itu, para wartawan amplop senang bukan kepalang, bila mendapat undangan datang ke rumah dinas pejabat ini.
Seperti sore itu. Ajudan pejabat itu menyampaikan undangan buka bersama via SMS kepada seorang wartawan koran XX yang kalau di kota ini ia dikenal sebagai koordinator lapangan wartawan senior.
Setelah dapat kiriman SMS, si wartawan koran XX ini langsung mendistribusikan SMS itu kepada teman-temannya. Makin banyak teman datang, makin besar jatah amplopnya, kira-kira begitu yang ada di kepalanya. “Coy, jelas nih, datang ya,” kata wartawan koran XX lewat SMS. “Jangan sampai kau tidak datang.”
Acara yang ditunggu-tunggu pun tiba. Buka bersama. Yang datang ke acara itu sekitar 20 wartawan amplop. Usai makan-makan dan ngobrol basa-basi dengan pejabat yang menjadi tuan rumah, koordinator lapangan mulai bisik-bisik ke ajudan.
Ia mengatakan sudah waktunya undur diri karena sudah mulai larut malam. Sebenarnya kalimat undur diri itu hanyalah kiasan untuk minta amplop.
Ajudan tentu saja sudah bisa membaca bahasa semacam itu, apalagi yang menyampaikan wartawan yang selama ini jadi korlap.
“Ini bang untuk 20 wartawan,” kata ajudan singkat sambil menyerahkan segeplok uang di amplop putih ke tangan korlap.
“Siap, perintah dilaksanakan,” kata korlap sumringah dengan nada gemetaran. Mungkin saking senang hatinya.
Setelah itu, satu persatu wartawan meninggalkan tempat kejadian perkara. Di tikungan jalan, di ujung jalan besar dekat rumah pejabat royal tadi, korlap berhenti.
“Ini coy,” katanya sambil menyerahkan uang kepada temannya. “Ini bagianmu coy.” Begitu seterusnya sampai selesai.
Tiba-tiba ada yang berteriak. Yang teriak ini seorang wartawan yunior, tapi ia sudah banyak malang melintang di dunia peramplopan. “Ini kurang bos, ajudan tadi bilangnya Rp200 ribu, bukan Rp130 ribu.”
“Halah, kau tinggal terima. Banyak omong kau,” kata korlap dengan nada galak. “Kalau kau tidak mau, ini kau kembalikan padaku.”
Sesama wartawan amplop, di kota itu, biasanya kalau sudah begitu, persoalan sudah selesai. Mereka tidak akan marah, walau jatahnya dipotong korlap. Mereka sama-sama tahu, kalau uang tadi cuma diperoleh secara gratis dari pejabat.
Wartawan yunior tadi juga tidak mengamuk. Cuma saja, hatinya menjerit. “Ular beludak benar abang satu ini.” Di daerah itu, ular beludak adalah simbol keserakahan, agresif, licik, serta sangat berbisa.
No comments:
Post a Comment