Tuesday, August 24, 2010

Si Madona Dapat Amplop di Pedalaman

SUATU HARI, wartawati yang suka dipanggil Madona ini mendapat tugas liputan ke Indonesia bagian Timur. Ia diundang oleh salah satu departemen pemerintah yang humasnya sok bossy. Sebut saja nama Mr Boshek.

Nah, hari pertama di tempat kejadian perkara, wartawan dan wartawati yang diundang departemen itu, diajak ke pedalaman. Mereka diminta meliput acara seremonial berupa pemberian bantuan untuk keluarga miskin yang menetap di sana.

Sesampai di pedalaman, setelah puas disambut dengan tari-tarian suku pedalaman yang unik, para wartawan dan wartawati disuruh bikin berita oleh Mr Boshek tadi.

Pokoknya, waktu itu, semua juru warta disuruh menulis sore itu juga biar beritanya muncul menjadi headline gede-gede di koran masing-masing, termasuk koran si Madona van Java.

Setelah memberi pengarahan, Mr Boshek tiba-tiba mendekati satu persatu para pewarta. Dengan sigap tangannya menyelipkan amplop putih ke ketek setiap wartawan.

Si Madona cuma tertawa geli setelah mendapat bagian. Begitu suasana cair setelah tegang sejak tadi, si Madona berdiri. Lalu, pelan-pelan dan pasti, ia pergi ke kamar mandi.

Di sana, sambil sembunyi, di balik pintu kamar mandi, si Madona membuka amplop. Tentu saja, ia akan malu sekali kalau sampai membuka amplop di depan wartawan lainnya. Gengsi coy.

Sekejap, mata si Madona berbinar-binar terang, bahkan warna matanya boleh dibilang berubah menjadi hijau, padahal biasanya berwarna biru. Isi amplopnya cukup membuat hatinya menyanyi kegirangan. Isinya Rp1 juta.

Di pikiran si Madona, lumayan. Uangnya bisa menambah hobi fashion-nya. Pokoknya, nanti duit itu akan dibuat jalan dan beli baju ke mal.

Sehabis membuka amplop, si Madona langsung keluar dari kamar mandi. Lalu, ia membikin berita, biar beritanya tidak basi dan menyesaki otak.

Eh, rupanya karena ia berada di pedalaman, sinyal internet jelek sekali. Singkat cerita, deadline pun terlewati tanpa bisa mengirim berita ke redaksi untuk koran. Malam harinya, baru ia berhasil mengirim berita, tapi beritanya tidak masuk ke koran, melainkan di internet saja.

Dalam hati, ia kesal. Padahal untuk membuat berita itu, ia harus bersusah payah, bahkan sempat kebelet pipis, sementara toilet di pedalaman tidak memadai.

****

Setibanya di Jakarta kembali, ternyata urusan berita belum kelar. Mr Boshek marah-marah kepada Madona lewat telepon. Pokoknya, ia tidak terima kalau beritanya hanya masuk di internet. Ia maunya jadi headline super gede di koran. Dan parahnya ia minta ketemu pemimpin redaksi kalau sampai keinginan itu tidak dituruti.

Lalu, otak si Madoona pun encer. Ia keluarkan jurus. Ia bilang ke Mr Boshek, begini; "Pak, kamu pikir saya suka pergi ke pedalaman itu, banyak nyamuk, kamar mandi parah, banyak cacingnya, terus penginapannya payah. Duh, sebenarnya saya tak suka pergi ke sana. Saya mah terpaksa saja, karena menghormati undangan anda. Jadi, bapak seharusnya bersyukur dong sudah saya liput. Lagian saya tidak pernah minta uang kan?"

Pada saat berkata demikian, dalam hati, si Madona sebenarnya merasa senang karena akhirnya bisa liputan ke Indonesia bagian Timur. Cuma agar si Mr Boshek tidak macam-macam, ia berkata sebaliknya.

Sudah digertak begitu, ternyata Mr Boshek tetap tidak mau terima. Akhirnya si Madona bilang lagi. "Pak, hitung saja berapa duit yang anda keluarkan buat saya, besok saya ke kantor bapak buat bayar semuanya! termasuk amplop itu!”

Dalam hati, si Madona van Java deg-degan juga. Bagaimana kalau Mr Boshek mencak-mencak lagi. Eh, tapi rupanya, gertakan itu membuahkan hasil. Agaknya, nyali si Boshek menciut juga. Akhirnya ia bilang begini, "Ya jangan galak-galak gitu mbak, maaf deh kalau begitu, makasih ya."

Begitu selesai telepon. Si Madona menjerit lirih. Horaaaaaay. Lega hatinya. “Mentang-mentang ngasih amplop trus mau semena-mena, enggak bisa dong kalo sama gua, enak aja, huh!”

Akhirnya, si Madona pun bisa beli baju ke mal dengan lega. Wajah si Mr Boshek pun sirna.

No comments: