Wednesday, August 18, 2010

Mengapa Ia Terima Amplop?

MET PAGI abangku yang baik hati!! Abangku yang baik hati mohon petunjuk dan bantuannya karena istriku habis operasi sesar anak pertama kami dengan biaya Rp9 juta. Padahal aku cuma punya uang Rp5 juta jadi mohon petunjuk dan bantuannya bang.

Wassalam abangku yang baik hati. Dari ….. Harian ….”

SMS itu tadi dikirimkan ke beberapa orang pejabat. Sambil menunggu jawaban dari pejabat yang tak juga kunjung datang, wartawan amplop ini pun bercerita. Ia bercerita tentang bagaimana kantor media tempatnya bekerja memperlakukannya.

“Kantor aku hanya menggaji aku Rp800 ribu per bulan,” katanya lalu terdiam. “Teman-temanku lainnya pun terima gaji sebesar itu.”

Ternyata gaji itu tak sepenuhnya ia terima, karena masih ada potongan-potongan lainnya. Ia tidak menjelaskan apa saja potongan itu.

Tetapi, yang jelas, gaji sebesar itu sudah sangat tidak sesuai dengan tingkat kebutuhan hidup di jaman sekarang (2010). Mungkin kalau hidup di kampung di Provinsi Jawa Tengah sana, uang sebesar itu masih cukup untuk sebulan. Tapi, ini Jakarta, Coy. Apa-apa mahal, hampir semua kebutuhan memerlukan uang.

Ditambah lagi, istri wartawan ini baru saja melahirkan di rumah sakit. Istri melahirkan dengan cara sesar. Tentu saja biayanya mahal sekali. Rp9 juta. Angka itu baginya bagaikan petir menyambar-nyambar. Petir menguber-ubernya.

Dengan gaji Rp800 ribu dari perusahaan yang memperkerjakannya selama bertahun-tahun, ditambah lagi sekarang ini tidak punya uang tabungan lagi karena kemarin sudah habis total, bagaimana caranya melunasi biaya rumah sakit? Untuk, hidup sehari-hari pun, ia sudah setengah mati cari uang tambahan, misalnya terima amplop dari acara yang ia liput.

Nah, sekarang ini, istri harus pulang karena memang sudah boleh pulang. Tapi, ternyata belum bisa keluar rumah sakit karena biayanya belum lunas. Nah, kalau tidak segera pulang, ia harus tetap membayar kamar penginapan.

Akhirnya, rupa-rupa cara ia tempuh untuk membiayai istrinya. Semuanya dilakukan dengan jujur dan transparan. Kalau lagi liputan dapat amplop, ya, ia terima. Ia juga minta bantuan kenalan-kenalannya lewat telepon, SMS, atau bertemu langsung.

Pokoknya, ia mengoptimalkan jaringan narasumbernya untuk mendapatkan biaya tambahan. Apalagi yang bisa ia lakukan, karena keluarganya sendiri juga sudah tidak kuat. Cari kerja lain, usianya sudah tidak memungkinkan. Mengharapkan dari kantor. Mustahil. Sebab, kantor redaksi yang selama bertahun-tahun ia abdi, tidak sensitif dan pelit.

“Aku tidak mencuri, aku tidak memeras. Kalaupun mereka tidak memberi uang, ya tidak apa-apa,” katanya. “Aku tidak menodong.”

3 comments:

Galuh Parantri said...

Miris...
Kalo kasusnya kaya gini piye pandangan kak Sis selaku jurnalis yang konsisten ama tulisan 'amplop'.
Ada toleransi tidak?

Ya ampun, semoga tidak banyak ya rekan-rekan yang kekurangan apalagi untuk menghidupi keluarganya, belum lagi pengeluaran2 di luar rencana kaya gini

Siswanto said...

berdoa saja luh. semoga bos - bos media bikin standar gaji lebih layak. terus juga 'iman' wartawan juga menjadi mantap.

Andri said...

Sungguh bijak kali Bang Siswanto ini...