WAKTU ITU ada jumpa pers tentang rusaknya terumbu karang di Pulau Dewata. Di antara wartawan resmi, ada seorang wartawan yang selama ini dikenal di sana sebagai bodrek atau tidak punya media jelas, tapi selalu ikut ‘meliput.’
Semua wartawan yang datang ke acara itu, awalnya saling pandang satu sama lainnya. “Tumben ada bodrek di sini, emang mereka pikir ada amplopnya kali ya?”
“Ya sudah biarin saja, entar juga tahu rasa, terus kapok sendiri.”
Acara jumpa pers pun berlangsung. Narasumber memaparkan berbagai kerusakan terumbu karang di sejumlah pantai Pulau Dewata. Terumbu yang dulu indah dipandang, tapi kini orang sudah segan memandang karang.
Semua wartawan -- termasuk bodrek tadi -- sibuk merekam data yang disampaikan narasumber. Di sesi tanya jawab, berkali-kali si bodrek memuji setinggi langit semua program rehabilitasi terumbu karang yang dipromosikan narasumber.
Nah, ketika acara konferensi pers selesai, semua wartawan menuju ke tempat makan yang sudah disiapkan panitia. Ada yang makan, ada juga yang tidak mau makan.
Di ujung ruangan, si bodrek tampak siaga. Di tengah-tengah acara istirahat itu, ada wartawan koran A yang pernah jadi korban pencatutan nama oleh wartawan bodrek, usil. Ia ingin mengerjai si bodrek itu.
Ia naik ke lantai dua gedung, kebetulan kantor sekretariat panitia acara berada di sana. Sampai di atas, ia panggil salah seorang temannya dari koran B. Katanya, panitia memanggil.
Waktu itu, si wartawan koran B yang masih muda itu sedang diajak ngobrol oleh wartawan bodrek yang sudah senior.
“Sebentar ya, mau naik dulu dipanggil,” kata wartawan B kepada bodrek.
“Pergilah. Nanti kalau sudah dapat (amplop) gantian, ya atau bagi-bagilah,” kata wartawan bodrek.
“Beres,” kata si wartawan muda sambil mengangkat jempol dan telunjuk yang membentuk lingkaran pertanda setuju.
Sekitar lima menit kemudian, si wartawan koran A langsung didatangi si bodrek. “Ada apa mas, kok dia dipanggil ke atas, aku tidak.”
“Waduh, saya enggak tahu. Tanya sendiri saja sama panitianya,” kata wartawan koran A yang sedang mengarang sandiwara itu.
Si bodrek berambut sebahu itu terus mondar-mandir. Ia kelihatan resah dan gelisah. Sebentar duduk, sebentar berdiri. Mau masuk ke ruang panitia, ia tidak begitu berani. Jadi, ia, nunggu panggilan.
Ada lagi suara panggilan dari dalam ruang. Ternyata wartawan koran A yang dipanggil. Si bodrek makin risau.
Beberapa menit kemudian, wartawan koran A dan koran B turun dari lantai dua. Lalu, mereka buru-buru pulang.
Si bodrek tanya, “dapat (amplop).”
“Sudah dong,” kata wartawan koran A.
“Kok aku belum, ya.”
“Wah, enggak tahu ya. Tungguin saja, siapa tahu dipanggil, kalau memang tadi absen,” kata wartawan koran A yang tengah mengerjai si bodrek yang dulu pernah mencatut namanya untuk minta uang narasumber itu.
Tidak tahu endingnya bagaimana, yang jelas, keesokan harinya, si bodrek merengut kepada si wartawan koran A dan koran B ketika mereka bertemu muka di kantor pemerintahan, tempat dimana semua wartawan kumpul.
2 comments:
Ampolope diganti terumbu karang wae
kalo tiap wartawan dikasih terumbu karang, nanti abis dong. malah merusak alam lagi. wkwkwk. beton aja kalau gitu.
Post a Comment